analisis novel Mereka Bilang Saya Monyet
(Rosita Jannatun Naim / 13410045)
Judul Buku :
Mereka Bilang, Saya Monyet !
Jenis :
Fiksi
Penulis :
Djenar Maesa Ayu
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
No Produk :
20102011
No. ISBN :
978-979-686-993--0
Tebal :
xii+150 halaman
Ukuran :
14x21 cm
Jenis Cover :
Soft Cover
Kekurangan :
·
Terdapat
kata-kata yang sangat “nyleneh” disini banyak kata yang tidak pantas diucapkan
di sembarang tempat. Bahasa-bahasa kotor yang tak patut untuk ditiru khususnya
bagi anak-anak. Buku ini alangkah baiknya yang membaca adalah orang yang sudah
masuk usia dewasa, karena bila anak-anak yang membaca takutnya dapat berakibat
yang tidak-tidak dari perkataan maupun perbuatan anak tersebut.
·
Ada
juga yang mencap sastra ini adalah sastra murahan, karena menghadirkan
adegan-adegan seks atau mengupas problematika seks. Dan juga terdapat kumpulan kata yang sangat
amat sulit dicerna oleh pikiran saya.
·
Pengarang
sering mengeksploitasi kekerasan dan unsur seksualitas secara berlebihan
meskipun dengan unsur metafora.
Kelebihan :
·
Bahasanya
padat dan kuat sehingga mampu menghanyutkan setiap pembacanya.
·
Tokoh
utama cerita mampu dan tegar menghadapi berbagai fenomena hidup meskipun
didalamnya banyak terjadi konflik. Melalui tokoh cerita pengarang ingin
menyampaikan pesan moral kepada pembaca bahwa pentingnya orang tua memberikan
pendidikan yang baik kepada anak.
·
Kalimat
yang digunakan bebas, lugas dan apa adanya
·
Karakter
tokoh yang kuat
Unsur Instrinsik :
Sudut Pandang
sudut pandang orang pertama sebagai wanita yang berkepala monyet.
"Saya memperhatikan bayangan
diri saya di dalam cermin dengan cermat.
Saya berkaki dua, berkepala manusia, tapi menurut mereka saya adalah seekor binatang. Kata mereka saya seekor monyet. Waktu mereka mengatakan itu kepada saya, saya sangat gembira. Saya katakan, jika saya seekor monyet maka saya satu-satunya binatang yang paling mendekati manusia. Berarti derajat saya berada di atas mereka".
Saya berkaki dua, berkepala manusia, tapi menurut mereka saya adalah seekor binatang. Kata mereka saya seekor monyet. Waktu mereka mengatakan itu kepada saya, saya sangat gembira. Saya katakan, jika saya seekor monyet maka saya satu-satunya binatang yang paling mendekati manusia. Berarti derajat saya berada di atas mereka".
Sungguh, tokoh Saya tak perlu munafik
bahwa dirinya adalah manusia yang memiliki sifat binatang.
Tema
(Potret Kebinatangan dalam Diri Manusia)
Cerpen "Mereka Bilang, Saya Monyet" dimulai dengan menampilkan penglihatan Saya sepanjang hidup terhadap manusia yang memiliki fisik "binatang" :
"Sepanjang hidup, saya melihat
manusia berkaki empat. Berekor anjing, babi, atau kerbau. Berbulu serigala, landak,
atau harimau. Dan berkepala ular, banteng, atau keledai".
Lalu di paragraf selanjutnya dijelaskan oleh Saya bahwa yang dilihatnya bukanlah binatang: "Namun tetap saja mereka bukan binatang. Cara mereka menyantap hidangan di depan meja makan sangat benar. Cara mereka berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yang sopan. Dan mereka membaca buku-buku bermutu. Mereka menulis catatan-catatan penting. Mereka bergaun indah dan berdasi. Bahkan konon mereka mempunyai hati".
Paragraf tersebut juga kita lihat sebagai simbol hidup kaum urban yang kebanyakan kaum intelektual: "Cara mereka berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yang sopan. Dan mereka membaca buku-buku bermutu. Mereka menulis catatan-catatan penting" dan hidup berlimpah uang yang menonjolkan sisi glamour: "Mereka bergaun indah dan berdasi".
Lalu di paragraf selanjutnya dijelaskan oleh Saya bahwa yang dilihatnya bukanlah binatang: "Namun tetap saja mereka bukan binatang. Cara mereka menyantap hidangan di depan meja makan sangat benar. Cara mereka berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yang sopan. Dan mereka membaca buku-buku bermutu. Mereka menulis catatan-catatan penting. Mereka bergaun indah dan berdasi. Bahkan konon mereka mempunyai hati".
Paragraf tersebut juga kita lihat sebagai simbol hidup kaum urban yang kebanyakan kaum intelektual: "Cara mereka berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yang sopan. Dan mereka membaca buku-buku bermutu. Mereka menulis catatan-catatan penting" dan hidup berlimpah uang yang menonjolkan sisi glamour: "Mereka bergaun indah dan berdasi".
saja peristiwa pernikahan singkat yang
dilakukan pejabat di negara kita, Indonesia.
Dan tetap saja, kemunafikan itu terjadi. Begitu
juga dengan wujud wanita berkepala ular. Ular merupakan simbol untuk kecerdikan
dan memiliki racun yang mematikan. Zaman modern sekarang ini wanita menggunakan
kecerdikan dan racunnya yang dibalut rapi dengan kecantikan yang menggoda untuk
memperbudak lelaki, dan hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah
menggunakannya untuk menjual harga diri demi lembaran uang untuk memenuhi
kebutuhan hidup urban yang glamour.
Alur
Alur yang digunakan pada novel ini yaitu maju.
Pengarang menampilkan secara urut di mulai dari kejadian awal yang memperkenalkan
para tokoh kepada pembaca diteruskan dengan kejadian-kejadian berikutnya, yaitu
memunculkan peristiwa atau kejadian yang menggambarkan tokoh-tokoh masuk dalam
konflik antar tokoh dan terjadi perselisihan konflik, selanjutnya masuk
klimaks, berakhir dengan pemecahan masalah berupa peleraian dan penyelesaian
masalah.
Latar
Dalam
cerpen Mereka
Bilang Saya Monyet, latar tempatnya di kafe (kamar mandi kafe,
panggung kafe, ruang kafe). Dan latar suasana yang muncul dalam cerpen ini
jengah, menyedihkan, perselisihan dan senang.
Tokoh dan Penokohan
Tokoh utama dalam cerpen ini adalah tentang seorang wanita yang
dilambangkan berupa seekor monyet yang berkarakter baik, yaitu memerangi moral bejat
yang muncul di lingkungannya.
“Saya menunggu di dalam kamar mandi. Tidak lama
pintu diketuk. Saya membuka pintu. Si Kepala Buaya menyeruak masuk dan
memberondong saya dengan ciuman. Saya cekik lehernya dan saya sandarkan dia ke
dinding. Saya hajar mukanya seperti apa yang saya harapkan sebelumnya. Pintu
kamar mandi diketuk. Saya membuka pintu dan Si Kepala Ular sudah berdiri
berkacak pinggang di depan pintu. Saya mempersilakan ia masuk dan meninggalkan
mereka. Saya mendengar suara tamparan di pipi Si Kepala Buaya tempat saya
menghajar tadi”
Dan dia juga berani mendobrak kepincangan yang terjadi di
lingkungannya, yaitu dia yang biasa terkucil tidak ada seorang pun yang peduli
kepadanya, kini berani mengangkat kaki menuju ke panggung bernyanyi dengan kepala
dihentak-hentakkan sambil berjingkrak-jingkrak dan ternyata semua yang hadir
bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Dia merasa kemerdekaannya kini mulai
bangkit.
“Si Kepala Serigala memanggil pelayan dan
meminta bon untuk segera dibayar. Si Kepala Serigala selalu mengeluarkan uang
untuk kesenangan kami dan mungkin karena itulah Si Kepala Anjing
mengendus-endus kemaluannya. Saya tahu pesta mereka sebentar lagi usai. Tapi
saya juga tahu, pesta kemerdekaan saya baru akan dimulai...”
Si Kepala Buaya, berekor kalajengking, ia adalah seorang pria yang bermata keranjang.
“Kebutuhan saya untuk buang air kecil semakin
mendesak. Pintu kamar mandi masih terkunci. Saya mengetuk pintu pelan-pelan.
Tidak ada jawaban dari dalam. Tidak ada suara air. Tidak ada suara mengedan.
Saya menempelkan telinga saya di mulut pintu. Saya mendengar desahan tertahan.
Saya kembali mengetuk pintu. Desahan itu berangsur diam. Saya mengintip lewat
lubang kunci bersamaan dengan pintu dibuka dari dalam. Sepasang laki-laki dan
perempuan keluar dari dalam kamar mandi. Yang laki-laki lantang memaki, “Dasar
binatang! Dasar monyet! Gak punya otak ngintip-ngintip orang!”
Seharusnya saya menghajar laki-laki berkepala
buaya dan berekor kalajengking itu. ....”
Si Kepala Ular, ia adalah seorang wanita bejat yang sering berganti-ganti
pasangan.
“Mata saya bertubrukan dengan mata Si Kepala
Buaya yang berekor kalajengking itu. Perempuan berkepala ularnya masih berasyik
masyuk dengan laki-laki berkepala buaya lain. Mungkin laki-laki itu gigolo,
pikir saya. Mana mungkin laki-laki sejati rela menyerahkan kekasihnya ke dalam
pelukan laki-laki lain?”
Si Kepala Anjing, ia adalah seorang wanita yang sering berhubungan dengan banyak
lelaki padahal sudah bersuami, bahkan ia tertarik pula dengan Monyet yang
notabene sama-sama wanita seperti dirinya.
“Saya tahu persis siapa dirinya. Saya tahu
persis Si Kepala Anjing berhubungan dengan banyak laki-laki padahal ia sudah
bersuami. Saya tahu persis Si Kepala Anjing sering mengendus-endus kemaluan Si
Kepala Srigala. Bahkan Si Kepala Anjing juga pernah mengendus-endus kemaluan
saya walaupun kami berkelamin sama. Tapi tidak di depan umum”
Dia juga seorang wanita yang cerewet, seperti dikisahkan dalam
cerpen setelah Monyet berada di atas panggung dan bertanya kepada Si Kepala
Gajah, Si Kepala Serigala, Si Kepala Babi, Si Kepala Kuda semua membisu, hanya
Si Kepala Anjinglah yang berani menggonggong.
“... . Hanya Si Kepala Anjing yang berani
menggonggong. “Bagaimana kamu mau disebut manusia? Wujudmu boleh manusia, tapi
kelakuanmu benar-benar monyet!” ... . Ia kembali menggonggong tertahan. “Susah
bicara dengan makhluk yang tidak punya otak! Sudahlah, kamu tidak akan pernah
bisa mengerti apa yang saya katakan dan maksudkan. Kamu tidak punya perasaan
malu. Kamu tidak punya akal untuk membedakan mana yang tidak dan mana yang
pantas untuk kamu lakukan.”
Si Kepala Serigala berwajah hitam yang selalu mengeluarkan uang untuk berpesta pora di
kafe mentraktir kelompoknya,
Si Kepala Gajah berwajah abu-abu,
Si Kepala Harimau berwajah coklat,
Si Kepala Babi,
Si Kepala Kuda
Si Kepala Sapi.
Gaya Bahasa
Gaya bahasanya yaitu Metafora yaitu pemakaian kata atau kelompok
kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang
berdasarkan persamaan atau perbandingan
“Sepanjang hidup, saya melihat manusia berkaki
empat. Berekor anjing, babi, atau kerbau. Berbulu serigala, landak atau
harimau. Dan berkepala ulat, banteng, atau keledai. Namun tetap saja
mereka bukan binatang. Cara mereka meyantap hidangan di depan mejamakan sangat
benar. Cara mereka berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yangsopan. Dan
mereka membaca buku – buku bermutu. Mereka menulis catatan
– catatan penting. Mereka bergaun indah dan berdasi. Bahkan konon
mereka mempunyai hati”
Dalam kutipan di atas, Djenar menggunakan gaya
bahasa metafora yang bertujuan untuk memprofokasi pembaca untuk
membaca cerpen tersebut. Gaya bahasa metafora terbukti dari perbandingan
antara manusia dengan binatang. Penulis menyampaikan bahwa perilaku yang
dimiliki manusia sama dengan yang perilaku binatang yang hanya saja berwujud
manusia.
“Saya memperhatikan bayangan diri saya di dalam
cermin dengan cermat. Saya berkaki dua, berkepala manusia, tapi menurut
mereka saya adalah seekor binatang. Kata mereka saya adalah seekor monyet”
Dalam kutipan di atas, Djenar ingin menyampaikan
bahwa binatang monyet (yang dikonotasikan untuk dirinya) lebih baik
daripada manusia – manusia yang berwujud manusia tetapi tindakan dan
karakternya seperti binatang. Tokoh saya menganggap bahwa dia lebih baik daripada yang
lain (manusia berkepala ular, anjing, serigala, dan berbuntut babi,
kalajengking). Hal tersebut dikarenakan monyet (yang dilekatkan pada dirisaya) merupakan binatang yang mirip
dengan manusia. Jadi monyet memiliki strata lebih tinggi jika dibandingkan
denganmanusia bekelakuan hewan.
Amanat :
Apa yang di gambarkan oleh Djenar tersebut menunjukkan adanya
semangat untuk memberikan perhatian dan berpihak terhadap penindasan dan
pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat. Para perempuan yang merupakan
korban pelecehan dan kekerasan seksual dalam cerpen-cerpen tersebut
mempresentasikan kondisi perempuan secara nyata ada dalam masyarakat.
Ulasan Pendapat :
Dari
judul bukunya saja, Djenar sudah menggambarkan sosok “Saya” sebagai monyet. Namun,
pada kenyataan yang terjadi pada tokoh “Saya” adalah hidup dengan penuh kemunafikan
yang digambarkannya dengan sosok binatang, yang menganggap dirinya sebagai
manusia yang bermartabat, mempunyai hati dan akal pikiran, namun tingkah
lakunya seperti binatang. Sungguh, sebuah keberanian yang luar biasa. Seorang
Djenar menempatkan sesosok manusia yang berkepala buaya dan berbuntut
kalajengking dan berdasi. Wanita berkepala anjing yang mempunyai suami dan
wanita bergaun indah dengan kepala ularnya kedalam sebuah cerita.
Novel
ini juga sebuah sindiran terhadap orang-orang yang menggunakan topeng kehidupan
sosial saat berada di lingkungan, namun tabiat aslinya tak jauh dari sosok
manusia yang berkepala binatang. Djenar menulis sindirannya seperti berikut:
“Namun
seperti Si Kepala Anjing, sikap Si Kepala Buaya itu tidak kalah berbudayanya
jika berada di tempat umum. Saya yakin, pasti tidak adaa yang mengira kelakuan
Si kepala Buaya dan Si Kepala Ular juga Si Kepala Anjing, bahkan semua
kepala-kepala binatang ini ketika mereka tidak berada di depan umum.”
Secara tidak langsung juga berhubungan
dengan dunia seksualitas. Apa yang ditulis Djenar ada kaitannya dengan realita
kehidupan kita sekarang ini, yang terang-terangan berhubungan seks di depan
umum. Hal ini dibuktikan dengan maraknya video porno yang beredar dengan bebas
dimasyarakat. Bukankah itu menyerupai tingkah laku binatang? Yang tentunya
tidak merasa malu dan canggung melakukan hubungan seks di depan umum. Maka
wajar bila Djenar menulis seperti itu dan masyarakat menyukainya. Namun mengapa
Djenar begitu dekat dengan cerita-cerita seks yang ada dalam setiap karyanya?
Mungkinkan ada hubungannya dengan kehidupan nyata dari seorang Djenar. Ini sungguh
menarik untuk dibaca, karena memberikan warna baru di dunia sastra Indonesia
dan membuka wawasan kita tentang dunia kepenulisan bahwa karya-karya di
Indonesia tidaklah monoton yang hanya menampilkan sebuah cerita yang bernuansa
cinta dan agama.
Kesimpulan :
Dalam novel ini, secara umum Djenar mengisahkan tentang seksualitas wanita.
Banyak hal yang digamblangkan secara vulgar. Dalam cerpennya Mereka Bilang,
Saya Monyet sendiri menceritakan mengenai tokoh saya sebagai
tokoh utama yang merupakan seorang lesbian, dibuktikan dengan kalimat khasnya
yang berbahasa vulgar “Bahkan Si Kepala Anjing juga pernah mengendus-endus
kemaluan saya walaupun kami berkelamin sama.” Setting yang diambil dalam
cerpen ini ialah sebuah diskotik yang ia ceritakan terdapat PSK yang sedang
bercinta di salah satu bilik kamar mandi dengan seorang lelaki yng disebutnya
dengan Si Kepala Gajah. Kemudian mereka keluar seolah tidak terjadi apa-apa.
PSK itu kemudian bergelayutan dengan orang lain di luar kamar mandi. Tabiat
tokoh yang dimasukkan dalam cerpen ini pantas dengan julukan yang diberikan Djenar.
Djenar banyak mengisahkan mengenai kemunafikan manusia yang selalu tampak
sempurna di mata semua orang, namun ternyata kenyataannya bertolak belakang
dengan sifat yang mereka tampakkan. Pada dasarnya semua cerpen pada bukunya
inin bertemankan pelecehan seksual pada wanita, baik dari keluarga dan
lingkungannya. Namun hal yang sudah menjadi rahasia umum ini begitu tabu untuk
dibicarakan. Sehingga Djenar menjadikannya sesuatu yang berbeda, yang bernilai
seni dan sastra. Sekaligus pengarang sendiri ingin membuktikan bahwa hal-hal
yang dianggap tabu seperti itu juga perlu untuk dibicarakan, dibahas, dan
didiskusikan dalam khalayak umum.
Comments
Post a Comment